WELCOOM

Senin, 15 April 2013

Konstruktivisme



KONSTRUKTIVISME

A.    Asal Usul Konstruktivisme
Gagasan pokok kunstruktivime sebenarnya dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistimolog dari Italia. Pada tahun 1710 Giambatista Vico mengungkapkan filsafatnya Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya”. Bagi vico bahwa pengetahuan selalu merujuk kepada struktur konsep yang dibentuk.
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (buatan) kita sendiri. Alat atau sarana  yag tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Menurut konstruktivisme pengetahuan adalah dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru ke kepala siswa, tetapi siswa sendirilah yang harus megartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka yag dimiliki sebelumnya.
Menurut konstruktivisme pengetahuan bukankanlah hal yang statis dan dermabistik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Setiap oarang membangun pengetahuannya sendiri untuk mentranfer konsep dari seorang guru kepada siswa, pemindahan itu harus diinterprestasikan, ditranformasikan dan dikonstruksikan oleh siswa lewat pengalamannya.
Menurut Peage (1970), ada dua aspek berfikir dalam proses pembentukan pengetahuan yaitu :
1.      Aspek Figuratif, merupakan imajinasi keadaan sesaat yang statis, yang mencakup persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena.
2.      Aspek Operatif, lebih berkaitan dengan tranformasi dari suatu tahap ke tahap lain yang lebih tingi.
Bagi kaum konstruktivis, kebenaran terletak pada viabilitas yaitu kemampuan operasi suatu konsep atau pengetahuan dalam praktek. Pengetahuan bukan barang mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.
Menurut Bettencourt (1989) ada beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruktivisme pengetahuan manusia antara lain :
1.      Hasil konstruksi yag telah dimiliki seseorang (constracted knowledge)
2.      Domain pengalaman seseorang ( domain of experience )
3.      Jaringan struktur kogitif seseorang (existing cognitive structure)

B.     Pengertian Konstruktivisme Pembelajaran
Konstrutivis; construtivism dalam bahasa inggris berasal dari kata construct yang berarti membina. Konstrutivisme ialah teori yang bertunjangkan usaha pelajar mengaitkan ide lama dengan ide baru dalam pembinaan ilmu pengetahuan (Ausubel dalam Sadia, 1996). Teori ini pertama kali diperkenalkan dalam konteks pendidikan dan perkembangan anak-anak oleh Piaget dan john dewey (1930-1940 an).
Konstruktivis atau kontruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengatahuan kita adalah sebuah konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dan menurut piaget (1971), pembentukan atau konstruksi ini tak pernah mencapai suatu titik akhir namun terus berkembang setiap kali diadakannya reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru
Donald R. (2006: 255) mengutip beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism is defined as teaching that emphasizes the active role of the learner in building understanding and making sense of information (Woolfolk, 2003),; learners construction of knowledge as they attempt to make sense of their environment (McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning that occurs when learners actively engage in a situation that involves collaboratively formulating questions, explaining phenomenon, addressing complex issues, or solving problems (Gagnon & Colley, 2001).
 Konstruktivisme didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar dalam membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003),; para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat mereka berusaha untuk memberikan makna terhadap lingkungan mereka;dan pembelajaran yang terjadi ketika para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang secara kolaboratif meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena, mengemukakan isu-isu yang kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon & Colley, 2001).
Dengan demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and learning that intends to maximize student understanding”. Maksudnya, kontruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa
Konstruktivis model pembelajaran ialah desain pembelajaran yang menekankan kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi pengatahuannya sendiri, bukan serta merta pendidik yang selalu menjadi senter penerang di kala gelap melanda.(Aunurrahman,2009), namun disinilah setiap peserta didik secara individual harus dan layak memiliki kemampuan untuk memperdayakan fungsi-fungsi psikis dan mental yang dimilikinya yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman yang lalu, membandingkan dan mengambil sebuah keputusan dan kemampuan yang lebih menyukai satu dari yang lainnya.
Menurut Dina Gasong , Pembentukan pengetahuan konstruktivistik memandang bahwa subyeklah yang aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan adanya bantuan struktur kognitif ini, subjek akan mampu menyusun pengertian realitasnya. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Hal ini jelas mensyaratkan bahwa pengetahuan itu merupakan suatu konstruksi diri.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (dalam Paul, S., 1996), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
Lebih lanjut Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam kelompok, bukannya diterima dari sumber natural atau supranatural (atau bahkan dari seorang professor; Philips 1995). Selain ini, definisi kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural posistion” yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social practice of the culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya. konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Dalam kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil.


C.    Definisi Belajar Menurut Pandangan Konstruktivisme
Konstruktivisme sebagai payungnya teori-teori belajar yang ada, mempunyai definisi mengenai belajar yang sangat fundamental, yaitu sebagai berikut:
Pertama, belajar dalam pandangan konstruktivisme merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pebelajar sebagai pemberian makna atas data sensori dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya (prior knowlegde).
Kedua, belajar meruapakan proses pembentukan makna secara aktif oleh pebelajar dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dan masukan-masukan sensori baru serta pembuatan hubungan-hubungan dalam pembentukan makna. Jadi, sebagai modifikasi ide-ide pebelajar yang telah ada atau sebagai pengembang konsespsi siswa, Ross Tasker, 1992.
Ketiga, belajar merupakan proses pembentukan pengertian terhadap pengalaman-pengalaman dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya, tabin 1990. Menurut Arends, R. I. (1997), pembelajaran atau belajar secara konstruktivisme ini boleh didefinisikan sebagai satu fahaman bahwa murid membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada.
D.    Prinsip Dasar dan Karakteristik  Pembelajaran Konstruktivism
1.      Prinsip Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97). Selanjutnya Muijs dan Reynolds  mengemukakan bahwa murid adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi yaitu :
a.         Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif mengkonstrukikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa benar-benar memahami konsepnya.
b.         Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi dan metakognisi (Beyer, 1985)
c.         Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna
d.        Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata. Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan diskusi kelompok
e.         Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi
f.          Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang telah kita ketahui.
g.         Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan hanya bagian-bagiannya
h.         Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on daripada tekxbook
Suparno (1997) mengidentifikasi 3 prinsip kontruktivis dalam belajar yakni sebagai berikut;
1.      pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial,
2.      pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pengajar kepada pebelajar, kecuali dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar,
3.      pengajar sekedar membantu pebelajar dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pebelajar berlangsung secara efektif dan efisien.
Sedangkan Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci konstruktivist teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran. Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan keterkaitannya kepada kehidupan mereka.
Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan mereka.
Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adaah anggapan yang keiru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan “bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan validitas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan.
Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa esimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik.
Di siniah perlunaya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para siswa.
Kedua prinsip di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran :
1.        Pengetahuan terdiri atas konstruksi masa silam, memberikan arti bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi dan menginterpretasikan pengalamnnya.
2.        Pengkonstruksian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas.
3.        Belajar merupakan suatu proses organic penemuan lebih dari proses mekanik yang akumulatif. Penganut konstruktivisme menganut posisi bahw abelajar harus meperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek berimajinasi dan melakukan penemuan dalam upaya mengembangkan struktur kognitif.
4.        Mengacu pada mekanisme yang memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif. Belajar bermakna, akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik.
Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam proses pembelajaran diantaranya bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pembelajar kepada pebelajar, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan pebelajar membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dasar pemikiran seperti ini menjadikan teori konstruktivistik sebagai landasan teori-teori belajar yang pernah ada, seperti teoru perubahan konsep, teori belajar bermakna dan teori skema. Dari penjelasan ini tergambar bahwa konstruktivisme merupakan teori yang berlandaskan pada pembelajaran siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri dan guru sebagai mediator dan fasilitator yang relevan. Berdasarkan hal ini, terdapat beberapa prinsip yang menjadi foundation dalam constructivistic learning :
·         Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif 
·         Tekanan proses belajar terletak pada siswa 
·          Mengajar adalah membantu siswa belajar 
·         Penekanan dalam prpses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir 
·         Kurikulum menekankan partisipasi siswa 
·          Guru adalah fasilitator.
Oleh karena itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemampuannya
2.      Karakteristik  Pembelajaran Konstruktivisme
Karakteristik belajar dengan pendekatan konstruktivisme menurut Slavin (1997) ada  4 yaitu :
1.      Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda baca.
2.      Pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.
3.      Generative learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
4.      Pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri  

2 komentar: