KONSTRUKTIVISME
A. Asal Usul Konstruktivisme
Gagasan pokok
kunstruktivime sebenarnya dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistimolog
dari Italia. Pada tahun 1710 Giambatista Vico mengungkapkan filsafatnya “Tuhan
adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya”. Bagi
vico bahwa pengetahuan selalu merujuk kepada struktur konsep yang dibentuk.
Konstruktivisme
merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (buatan) kita sendiri. Alat atau
sarana yag tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah
indranya. Menurut konstruktivisme pengetahuan adalah dalam diri seseorang yang
sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
guru ke kepala siswa, tetapi siswa sendirilah yang harus megartikan apa yang
telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka yag
dimiliki sebelumnya.
Menurut
konstruktivisme pengetahuan bukankanlah hal yang statis dan dermabistik, tetapi
suatu proses menjadi tahu. Setiap oarang membangun pengetahuannya sendiri untuk
mentranfer konsep dari seorang guru kepada siswa, pemindahan itu harus
diinterprestasikan, ditranformasikan dan dikonstruksikan oleh siswa lewat
pengalamannya.
Menurut Peage
(1970), ada dua aspek berfikir dalam proses pembentukan pengetahuan yaitu :
1. Aspek Figuratif, merupakan imajinasi keadaan sesaat yang
statis, yang mencakup persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang
terhadap suatu objek atau fenomena.
2. Aspek Operatif, lebih berkaitan dengan tranformasi dari suatu
tahap ke tahap lain yang lebih tingi.
Bagi kaum
konstruktivis, kebenaran terletak pada viabilitas yaitu kemampuan operasi suatu
konsep atau pengetahuan dalam praktek. Pengetahuan bukan barang mati yang
sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.
Menurut
Bettencourt (1989) ada beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruktivisme
pengetahuan manusia antara lain :
1. Hasil
konstruksi yag telah dimiliki seseorang (constracted knowledge)
2. Domain
pengalaman seseorang ( domain of experience )
3. Jaringan
struktur kogitif seseorang (existing cognitive structure)
B.
Pengertian
Konstruktivisme Pembelajaran
Konstrutivis; construtivism dalam bahasa inggris berasal dari kata
construct yang berarti membina. Konstrutivisme ialah teori yang bertunjangkan
usaha pelajar mengaitkan ide lama dengan ide baru dalam pembinaan ilmu
pengetahuan (Ausubel dalam Sadia, 1996). Teori ini pertama kali diperkenalkan
dalam konteks pendidikan dan perkembangan anak-anak oleh Piaget dan john dewey
(1930-1940 an).
Konstruktivis atau kontruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengatahuan kita adalah sebuah konstruksi atau bentukan diri
kita sendiri. Dan menurut piaget (1971), pembentukan atau konstruksi ini tak
pernah mencapai suatu titik akhir namun terus berkembang setiap kali
diadakannya reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru
Donald R. (2006: 255) mengutip
beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism is defined as
teaching that emphasizes the active role of the learner in building
understanding and making sense of information (Woolfolk, 2003),; learners
construction of knowledge as they attempt to make sense of their environment
(McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning that occurs when learners
actively engage in a situation that involves collaboratively formulating
questions, explaining phenomenon, addressing complex issues, or solving
problems (Gagnon & Colley, 2001).
Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif pembelajar dalam
membangun pemahaman dan membuat makna terhadap informasi (Woolfolk, 2003),;
para pembelajar konsrtruksi ilmu pengetahuan saat mereka berusaha untuk
memberikan makna terhadap lingkungan mereka;dan pembelajaran yang
terjadi ketika para pembelajar secara aktif terlibat di dalam situasi yang
secara kolaboratif meliputi merumuskan masalah, menjelaskan penomena,
mengemukakan isu-isu yang kompleks, atau memecahkan masalah (Gagnon & Colley,
2001).
Dengan demikian, Donald
mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and learning that
intends to maximize student understanding”. Maksudnya, kontruktivisme
adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya adalah untuk
memaksimalkan pemahaman siswa
Konstruktivis model pembelajaran ialah desain pembelajaran yang menekankan
kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi pengatahuannya sendiri, bukan
serta merta pendidik yang selalu menjadi senter penerang di kala gelap
melanda.(Aunurrahman,2009), namun disinilah setiap peserta didik secara
individual harus dan layak memiliki kemampuan untuk memperdayakan fungsi-fungsi
psikis dan mental yang dimilikinya yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman yang lalu, membandingkan dan mengambil sebuah keputusan dan
kemampuan yang lebih menyukai satu dari yang lainnya.
Menurut Dina Gasong , Pembentukan pengetahuan konstruktivistik memandang
bahwa subyeklah yang aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya
dengan lingkungan. Dengan adanya bantuan struktur kognitif ini, subjek akan
mampu menyusun pengertian realitasnya. Struktur kognitif senantiasa harus
diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi. Hal ini jelas mensyaratkan bahwa pengetahuan itu merupakan
suatu konstruksi diri.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua
pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung
oleh indera (pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von
Glasersfeld (dalam Paul, S., 1996), salah satu pendiri gerakan konstruktivis,
bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli
bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan
subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa
yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita
didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat
subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
Lebih lanjut Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) sebagaimana dikutif oleh
Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang
diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3) kemampuan untuk lebih
menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi
pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah
dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan
datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam
membentuk dan mengembangkan pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan
yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur
kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara
aktif dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam
kelompok, bukannya diterima dari sumber natural atau supranatural (atau bahkan
dari seorang professor; Philips 1995). Selain ini, definisi kontruktivisme
beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan
konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu
rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara
individual untuk melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini
dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau
psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses
yang terjadi dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian
tersebut diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai “social
constructivism or sociocultural posistion” yang melihat “mind”
sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social practice of the
culture (kenyataan sosial budaya) (Robert, 2004: xiii)
Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld adalah
salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
bentukan (kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia
kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui
melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma
yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik
mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
pengalamnnya. konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah
instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan
dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar
manusia secara individual.
Dalam
kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah
konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan
dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil.
C.
Definisi
Belajar Menurut Pandangan Konstruktivisme
Konstruktivisme sebagai payungnya teori-teori belajar yang ada, mempunyai
definisi mengenai belajar yang sangat fundamental, yaitu sebagai berikut:
Pertama, belajar
dalam pandangan konstruktivisme merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan
oleh individu pebelajar sebagai pemberian makna atas data sensori dalam
hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya (prior knowlegde).
Kedua, belajar
meruapakan proses pembentukan makna secara aktif oleh pebelajar dengan
menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dan masukan-masukan
sensori baru serta pembuatan hubungan-hubungan dalam pembentukan makna. Jadi,
sebagai modifikasi ide-ide pebelajar yang telah ada atau sebagai pengembang
konsespsi siswa, Ross Tasker, 1992.
Ketiga, belajar
merupakan proses pembentukan pengertian terhadap pengalaman-pengalaman dalam
hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya, tabin 1990. Menurut Arends, R. I.
(1997), pembelajaran atau belajar secara konstruktivisme ini boleh
didefinisikan sebagai satu fahaman bahwa murid membina sendiri pengetahuan atau
konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sedia ada.
D.
Prinsip
Dasar dan Karakteristik Pembelajaran Konstruktivism
1. Prinsip
Dasar Pembelajaran Konstruktivisme
Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik
dan mental peserta didik secar aktif, dan juga merupakan proses asimilasi dan
menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki
seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya
sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap oleh murid. Ini
berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan
pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2008:97). Selanjutnya Muijs dan Reynolds mengemukakan bahwa murid
adalah konstruktor pengetahuan aktif yang memiliki sejumlah konsekuensi yaitu :
a.
Belajar selalu merupakan sebuah proses aktif. Pelajar secara aktif
mengkonstrukikan belajarnya daru berbagai macam input yang diterimanya. Ini
menyiratkan bahwa belajar harus bersikap aktif agar dapat belajar secara
efektif. belajar adalah tentang membantu murid untuk mengkonstruksikan makna
mereka sendiri, bukan tentang “mendapatkan jawaban yang benar” karena dengan
cara seperti ini murid dilatih untuk mendapatkan jawaban yang benar tanpa
benar-benar memahami konsepnya.
b.
Anak-anak belajar paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik
kognitif (konflik dengan berbagai ide dan prakonsepsi lain) melalui pengalaman,
refleksi dan metakognisi (Beyer, 1985)
c.
Bagi konstruktivis, belajar adalah pencarian makna. murid secara aktif
berusaha mengkonstruksikan makna. Dengan demikian, guru mestinya berusaha
mengkonstruksi berbagai kegiatan belajar di seputar ide-ide besar eksplorasi
yang memungkinkan murid untuk mengkonstruksi makna
d.
Konstruksi pengetahuan bukan sesuatu yang bersifat individual semata.
Belajar juga dikonstruksikan secara sosial, melalui interaksi dengan teman
sebaya, guru, orang tua, dan sebagainya. Dengan demikian yang terbaik adalah
mengkonstruksikan siatuasi belajar secara sosial, dengan mendorong kerja dan
diskusi kelompok
e.
Elemen lain yang berakar pada fakta bahwa murid secara individual dan
kolektif mengkonstruksikan pengetahuan. Agar efektif guru harus memiliki
pengetahuan yang baik tentang perkembangan anak dan teori belajar, sehinggga
mereka dapat menilai secara akurat belajar seperti apa yang dapat terjadi
f.
Di samping itu, belajar selalu dikonseptualisasikan. Kita tidak mempelajari
fakta-fakta secara abstrak, tetapi sealalu dalam hubungannya dengan apa yang
telah kita ketahui.
g.
Belajar secara betul-betul mendalam berarti mengkonstruksikan pengetahuan
secara menyeluruh, dengan mengeksplorasi dan menengok kembali materi yang kita
pelajari dan bukan dengan cepat pindah satu topik ke topik lain. Murid hanya
dapat mengkonstruksikan makna bila mereka dapat melihat keseluruhannya, bukan
hanya bagian-bagiannya
h.
Mengajar adalah tentang memberdayakan pelajar, dan memungkinkan pelajar
untuk menemukakan dan melakukan refleksi terhadap pengalaman-pengelaman
realistis. Ini akan menghasilkan pembelajaran yang otentik/asli dan pemahaman
yang lebih dalam dibandingkan dengan memorisasi permukaan yang sering menjadi
ciri pendekatan-pendekatan mengajar lainnya (Von Glaserfelt, 1989). Ini juga
membuat kaum konstruktivis percaya bahwa lebih baik menggunakan bahan-bahan hands-on
daripada tekxbook
Suparno (1997) mengidentifikasi 3 prinsip kontruktivis dalam belajar yakni
sebagai berikut;
1.
pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri baik secara personal maupun sosial,
2.
pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari pengajar kepada pebelajar, kecuali dengan keaktifan siswa itu sendiri
untuk menalar,
3.
pengajar sekedar membantu pebelajar
dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pebelajar
berlangsung secara efektif dan efisien.
Sedangkan Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks dalam The case
for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip kunci
konstruktivist teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk
membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran.
Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul
sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi
relevan dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan
keterkaitannya kepada kehidupan mereka.
Prinsip 2: Struktur belajar di
sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang
menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai
dengan bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang
"menyeluruh/utuh."
Prinsip 3:
Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan
mereka.
Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa,
sering mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di
dalam kelas yang secara tradisional mereka tidak bisa menduga serta
menghubungkan apa yang guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar
ia tidak berada di luar topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus
betul-betul "masuk" dan ”sibuk” ikut mengkaji tugas-tugas dalam
belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui petanyaan-peranyaan,
sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan.
Para siswa juga harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi
merinci dan menjelaskan. Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa
yang siswa pikirkan dan kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini
adaah anggapan yang keiru, karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang
tidak/kurang jelas maka dapat dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti;
“mengapa”?, dan “bagaimana”?. Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada
adanya evidesi-evidensi yang kuat sehingga dapa mengokohkan validitas
jawaban siswa tersebut. Sebab dalam belajar konstruktivisme pengetahuan
menuntut tidak hanya waktu untuk mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga
untuk waktu praktik menjelaskan.
Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya
dituntut dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi
dan kondisi yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4.
Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah
suatu awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya
Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa
dalam konteks pembelajaran.
Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang
benar-benar sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan
sekali-kai menilai itu dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu
ke waktu. Ekspresi Anda bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun
sesekali bisa esimis, sedih, maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang
guru dalam kerangka sedang mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah
mengekspresikan kekesalan. Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada
seseorang atau beberapa siswa, bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka
mendidik, bukan sedang menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari
seorang siswi yang cantik.
Di siniah perlunaya authentic assessment yakni suatu penilaian yang
betul-betul menilai apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai
oleh preseden penilaian sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks
yang penuh arti ketika berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang
dihadapi oleh para siswa.
Kedua prinsip di atas menekankan
bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan
sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan ini, Funston (1996) lebih spesifik mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada
apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu
materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi
proses belajar tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka secara umum ada empat prinsip dasar
konstruktivisme dalam pembelajaran :
1.
Pengetahuan terdiri atas konstruksi
masa silam, memberikan arti bahwa manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang
dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasi, mengorganisasi dan
menginterpretasikan pengalamnnya.
2.
Pengkonstruksian pengetahuan terjadi
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai
suatu kerangka logis dalam menginterpretasikan informasi baru dan dengan
akomodasi dalam memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses
regulasi diri yang lebih luas.
3.
Belajar merupakan suatu proses
organic penemuan lebih dari proses mekanik yang akumulatif. Penganut
konstruktivisme menganut posisi bahw abelajar harus meperoleh pengalaman
berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek berimajinasi dan melakukan
penemuan dalam upaya mengembangkan struktur kognitif.
4.
Mengacu pada mekanisme yang
memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif. Belajar bermakna, akan
terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik.
Implikasi
prinsip-prinsip belajar tersebut dalam proses pembelajaran diantaranya bahwa mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pembelajar kepada pebelajar,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan pebelajar membangun sendiri
pengetahuannya sendiri, mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam
membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan
mengadakan justifikasi. Dasar pemikiran seperti ini menjadikan teori
konstruktivistik sebagai landasan teori-teori belajar yang pernah ada, seperti
teoru perubahan konsep, teori belajar bermakna dan teori skema. Dari penjelasan
ini tergambar bahwa konstruktivisme merupakan teori yang berlandaskan pada
pembelajaran siswa dalam membentuk pengetahuannya sendiri dan guru sebagai
mediator dan fasilitator yang relevan. Berdasarkan hal ini, terdapat beberapa prinsip
yang menjadi foundation dalam constructivistic learning :
·
Pengetahuan dibangun oleh siswa
secara aktif
·
Tekanan proses belajar terletak pada
siswa
·
Mengajar adalah membantu siswa
belajar
·
Penekanan dalam prpses belajar lebih
kepada proses bukan hasil akhir
·
Kurikulum menekankan partisipasi
siswa
·
Guru adalah fasilitator.
Oleh karena
itu, paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuam awal tersebut
akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk itu, guru
dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.
guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama
dan sesuai dengan kemampuannya
2. Karakteristik
Pembelajaran Konstruktivisme
Karakteristik belajar dengan pendekatan
konstruktivisme menurut Slavin (1997) ada 4 yaitu :
1. Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa mulai
dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya
memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar
yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu
susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan
tanda baca.
2. Pembelajaran
kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep
yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya.
3. Generative learning
(pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita
menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan
informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka.
4.
Pembelajaran dengan penemuan yaitu,
siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka
sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk
memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri
terimakasih infonya...
BalasHapusartikel yang bermanfaat
BalasHapus